Pembangunan PERTANIAN

Posted by : aah j-frog :D
0 komentar
Sabtu, 26 Oktober 2013


Tugas
Pembangunan PERTANIAN

lu.png
Oleh
AAH NUR HERMAN MARUNTA
D1 a1 10 062
JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013

SOAL

1.      Tuliskan beberapa konstribusi sektor pertanian pada perekonomian indonesia ( disertai penjelasan lengkap dan dukungan data)
2.      Dari beberapa teori yang dipelajari manakah teori yang relevan dengan kondisi indonesia ( kemukakan alasanya, boleh lebih 1 teori)
3.      Buat alasan tentang kebijakan pertanian mencakup
a.       Bentuk kebijakan
b.      Masa berlaku
c.       Latar belakang lahirnya kebijakan
d.      Dampak positif dan negatif dari kebijakan bagi pertanian indonesia
e.       Koreksi kebijakan untuk masa yang akan datang
 JAWABAN
A. Kontribusi Produk contohnya : Penyediaan makanan untuk peduduk, penyediaan bahan baku untuk industri manufaktur Kontribusi Produk. Dalam system ekonomi terbuka, besar kontribusi produk sector pertanian bisa lewat pasar dan lewat produksi dengan sector non pertanian dari sisi pasar, Indonesia menunjukkan pasar domestic didominasi oleh produk pertanian dari LN seperti buah, beras dan sayuran hingga daging dari sisi keterkaitan produksi, Industri kelapa sawit & rotan mengalami kesulitan bahan baku di dalam negeri, karena bahan baku dijual ke luar negeri dengan harga yang lebih mahal. Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29 persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36 persen, dan industri pengolahan 1,6 persen.
Sedangkan pertumbuhan besar untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa sebesar 3,62 persen, sektor kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88 persen dan konstruksi 2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian memang hanya memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang yang bekerja di sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya paling tinggi.

B. Kontribusi Pasar negara agraris merupakan sumber bagi pertumbuhan pasar domestic untuk produk non pertanian seperti pengeluaran petani untuk produk industri (pupuk, pestisida, dll) dan produk konsumsi (pakaian,mebel, dan lain-lain) Keberhasilan kontribusi pasar dari sector pertanian ke sector non pertanian tergantung dari beberapa hal berikut, yaitu :
·         Pengaruh keterbukaan ekonomi : Membuat pasar sector non pertanian tidak hanya disi dengan produk domestic, tapi juga impor sebagai pesaing, sehingga konsumsi yang tinggi dari petani tidak menjamin pertumbuhan yang tinggi sector non pertanian.
·         Jenis teknologi sector pertanian : Semakin modern, maka semakin tinggi demand produk industri non pertanian.
C. Kontribusi Faktor Produksi menyebabkan Penurunan peranan pertanian dipembangunan ekonomi, maka terjadi transfer surplus modal dari sector pertanian ke Sektor lain. Kontribusi Faktor Produksi yang dapat dialihkan dari sector pertanian ke sektor lain tanpa mengurangi volume produksi pertanian adalah Tenaga kerja dan Modal. Di Indonesia hubungan investasi pertanian dan non pertanian harus ditingkatkan agar ketergantungan Indonesia pada pinjaman Luar negeri menurun. Kondisi yang harus dipenuhi untuk merealisasi hal tersebut adalah :
·         Harus ada surplus produk pertanian agar dapat dijual ke luar sectornya. Market surplus ini harus tetap dijaga dan hal ini juga tergantung kepada factor penawaran yaitu Teknologi, infrastruktur dan sumber daya manusia dan factor permintaan seperti nilai tukar produk pertanian dan non pertanian baik di pasar domestic dan Luar negeri.
·         Petani harus net savers yaitu Pengeluaran konsumsi oleh petani lebih kecil daripada produksi
·         Tabungan petani harus lebih besar dari investasi sektor pertanian.
D. Kontribusi Devisa : Pertanian sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan (NPI) melalui ekspor produk pertanian dan produk pertanian yang menggantikan produk impor.
Kontribusi Devisa. Kontribusinya melalui 2 cara , yaitu :
·         Secara langsung , dengan mengekspor produk pertanian dan mengurangi impor.
·         Secara tidak langsung , dengan peningkatan ekspor dan pengurangan impor produk berbasis pertanian seperti tekstil, makanan dan minuman.
Kontradiksi kontribusi produk dan kontribusi devisa akan meningkatkan ekspor produk pertanian, dan menyebabkan suplai dalam negeri berkurang dan disuplai dari produk impor. Peningkatan ekspor produk pertanian berakibat negative terhadap pasokan pasar dalam negeri.
 Untuk menghindari trade off ini 2 hal yang harus dilakukan, yaitu :
·         Peningkatan kapasitas produksi.
·          Peningkatan daya saing produk produk pertanian.
2. Menurut saya teori yang cocok untuk  Indonesia adalah teori Neo klasik oleh  DAVID RICARDO (1772 - 1823) karena ciri-ciri perekonomian Ricardo sama dengan keadaan Indonesia seperti sebagai  berikut :
a)   Jumlah tanah terbatas.
b) Tenaga kerja (penduduk) meningkat atau menurun tergantung pada apakah tingkat upah di atas atau di bawah tingkat upah minimal (tingkat upah alamiah = natural wage).
c)   Akumulasi modal terjadi bila tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik modal berada di atas tingkat keuntungan minimal yang diperlukan untuk menarik mereka melakukan investasi.
d)   Kemajuan teknologi terjadi sepanjang waktu.
e)   Sektor pertanian dominan.
Dengan terbatasnya luas tanah, maka pertumbuhan.penduduk (tenaga kerja) akan menurunkan produk marginal (marginal product) yang kita kenal dengan istilah the law of diminishing returns. Selama buruh yang dipekerjakan pada tanah tersebut bisa menerima tingkat upah di atas tingkat upah alamiah, maka penduduk (tenaga kerja) akan terus bertambah, dan hal ini akan menurunkan lagi produk marginal tenaga kerja dan pada gilirannya akan menekankan tingkat upah ke bawah.
Proses yang dijelaskan di atas akan berhenti jika tingkat upah turun sampai tingkat upah alamiah. Jika tingkat upah turun sampai di bawah tingkat upah alamiah, maka jumlah penduduk (tenaga kerja) menurun. Dan tingkat upah akan naik lagi sampai tingkat upah alamiah. Pada posisi ini jumlah penduduk konstan. Jadi dari segi faktor produksi tanah dan tenaga kerja, ada suatu kekuatan dinamis yang selalu menarik perekonomian ke arah tingkat upah minimum.
                        Pembangunan suatu negara bisa dimulai dari pembenahan kualitas sumber daya manusia yang ada melalui pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan iptek yang kesemuanya akan membentuk suatu hasil yang meningkatkan produktivitas tenaga kerja.  Dan juga strategi pembangunan ekonomi Indonesia juga harus memperhatikan pembentukan modal menanamkan secara seimbang, terarah dan menyebar yang pada akhirnya membawa efek pertumbuhan ekonomi negara. Ingat 4 faktor yang mempengaruhi pembangunan ekonomi suatu negara yang diutarakan David Ricardo :Jumlah penduduk, jumlah modal, luas tanah,  dan tingkat teknologi. Pembangunan 4 faktor melalui perencanaan pembangunan yang diharapkan, akan berefek positif pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang dapat terus ditingkatkan untuk tahun-tahun kedepan.
3. A.  Bentuk kebijakan, Masa berlaku, Latar belakang lahirnya kebijakan
 1.      Kebijakan Pertanian di Era Orde Baru
·         REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
REPELITA adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun yang menjadi kebijakan dari Presiden Soeharto pada masa Orde Barru untuk meningkatkan pembangunan Indonesia dari segi apa saja, tetapi lebih diutamakan pada pembangunan sektor pertanian. REPELITA sendiri terdiri dari berberapa tahap yang kesemuanya difokuskan untuk membangun sistem pertanian Indonesia dengan turut memajukan sektor lain yang juga mendukung pembangunan sektor pertanian seperti sektor industri dan teknologi.
·         Revolusi Hijau
Revolisi Hijau merupakan upaya untuk meningkatkan produksi biji-bijian dari hasi penemuan ilmiahberupa benih unggul baru dari beragam varietas gandum, padi dan jagung yang membuat hasi panen komoditas tersebut meningkat di negara-negara berkembang. Revolusi Hijau dipicu dari pertambahan penduduk yang pesat, yakni bagaimana mengupayakan peningkatan hasil produksi pertanian. Peningkatan jumlah penduduk harus diimbangi dengan peningkata produksi pertanian. Perkembangan Revolusi Hijau yang sangat pesat juga berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Sebagian besar kondisi sosial-ekonomi mayarakat Indonesia berciri agraris. Oleh karena itu pembangunan pertanian menjadi sektor yang sangat penting dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonmi Indonesia. Hal tersebut didasari oleh:
·           Kebutuhan penduduk yang meningkat dengan pesat
·           Tingkat produksi pertanian yang masih sangat rendah
·           Produksi pertanian belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan penduduk.
·           Pembangunan Irigasi dan Produksi Padi
Mengenai perkembangan luas lahan dan luas produksi padi yang dihasilkan, terlihat bahwa sejak masa Orde Baru memegang pemerintahan (1966) sampai dengan tahun 1987 luas lahan irigasi melonjak hampir 2 kali lipat dengan laju sebesar 2,4% per tahun. Luas kenaikan maksimum dicapai pada tahun 1987. tendensi ini diikuti dengan melonjaknya jumlah produktifitas padi. Pada tahun 1987 produksi padi meningkat hingga 44 juta ton, naik 3 kali lipat sejak tahun 1966. Tingkat produksi yang dicapai ini diperoleh dengan naiknya intensitas tanam hingga mencapai rata-rata 1,8. Mengenai kenaikan produksi persatuan luas, tercatat naik dari 2,4 ton/ha menjadi 4,5 ton/ha. Nilai ini bila diplotkan ke dalam sejarah evolusi padi di negara-negara berkembang dengan Jepang sebagai perbandingan, telah berada di fase keempat bersama-sama dengan Taiwan. Walaupun demikian masih lebih rendah Korea dan Jepang yang telah mencapai 6-7 ton/ha, tetapi jauh lebih tinggi dari Philipina, Laos, Myanmar maupun Vietnam.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa lahan irigasi memberikan peranan yang besar dalam mencapai swasembada pangan. Kira-kira 60-70% padi diproduksi dari lahan beririgasi. Walaupun demikian, bila melihat perkembangn penduduk, untuk terus mempertahankan swasembada pangan masih perlu banyak inovasibaru. Perhitungan secara sederhana mengenai luas lahan beririgasi terus meningkat seirama dengan pertambahan penduduk. Padahal kalau melihat besarnya derajad irigasi seperti telah diuraikan di atas, peluang mengembangkan lahan irigasi secara horizontal, terutama di pulau-pulau yang termasuk dalam grup pertama, nampaknya semakin sempit. Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana menyeimbangkan antar penyediaan sumberdaya air dari alam dengan kebutuhan air khususnya untuk memproduksi bahan pangan yang semakin menigkat itu tetapi tanpa merusak kondisi hidrologinya sendiri.
·         BIMAS, INMAS, INSUS dan Panca Usaha Pertanian
Dalam rangka meningkatkan produk pertanian, pemerintah Orde Baru melaksanakn program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang dimulai sejak Pelita I dan Pelita-Pelita berikutnya. Pada waktu itu dilaksanakan program Bimbingan Masal (BIMAS) yang kemudian berubah menjadi Intensifikasi Masal (INMAS), Intensifikasi Khusus (INSUS) dan Panca Usaha Pertanian. Dalam usaha meningkatkan produksi pertanian padi, dilakukan penanaman bibit unggul, sepertu Varietas Unggul Baru (VUB) atau High Yealding Varietas (HYV) sebagai hasil penelitian International Rice Research Institute (IRRI).
2.      Kebijakan Pertanian di Era Reformasi
a.       SRI (System of Rice Intensification)
Perkembangan pdi SRI (System of Rice Intensification) yang terkenal dengan motonya “More Rice with Less Water” atau hasil beras meningkat dengan penggunaan air yang sedikit, sampai saat ini masih mengalami kendala teknis dan non teknis di tingkat lapangan. Dengan melihat keistimewaan sistem ini, terutama dari segi produktifitas dan efisiensi pengairan ( yang identik dengan perluasan areal irigasi), beberapa perbaikan sistem harus dilakukan agar pengembangannya dapat dilaksanakan seluas-luasnya. Berikut adalah beberapa keistimewaan sistem SRI bagi pengembangan budidaya padi sawah:
·         SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit, yaitu 5-10 kg per-hektar yang berbanding 40-60 kg padi per-hektar pada sistem konvensional.
·          Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat dengan B/C rato (perbandingan nilai hasil terhadap biaya) yang lebih baik dibanding sistem konvesional. Hal ini jelas akan meningkatkan pendaptan petani.
·         Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering meretak akan memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti akan memperbaiki kondisi tanah, baik fisik, kimia maupun biologi. Hal ini dapat dipercepat apabila pemupukannya menggunakan pupuk organik. Beberapa artikel penelitian membuktikan bahwa kandungan mikro organisme pada tanah yang ditanami padi SRI mengalami peningkatan kualitas. Tentu saja harus diperhatikan pula proses pengembalian serasah padi pada tanah asalnya.
·         Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional akan memperbaiki efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi bagi perluasan areal irigasi.
Dengan demikian SRI sangat menunjang program ekstensifikasi areal irigasi yang merupakan sumber utama ketahanan pangan (terutama beras). Sampai saat ini, areal irigasi yang ada masih banyak yang belum mampu mengairi padi 100% pada musim tanam kedua (kemarau). Namun demikian, ternyata pengembangan SRI di banyak areal irigasi masih menghadapi beberapa kendala yang cukup mengganggu, yaitu:
·      Metode penanaman dengan bibit muda dan hanya satu bibit pertitik tanam dianggap masih merepotkan bagi petani. Hal ini terutama dialami pada daerah-daerah yang kekurangan buruh tani. Biasanya daerah seperti ini adalah daerah yang berada tidak jauh dari perkotaan karena banyak buruh tani yang bekerja sambilan di kota sebagai tukang atau buruh industri, atau juga di daerah yang terpencil dimana jumlah penduduk masih kurang. Selain itu, banyak pula daerah yang buruh taninya merupakan pendatang musiman yang belum familier dengan SRI sehingga hasil tanamnya kurang baik. Hal ini tentunya membutuhkan pembinaan yang lebih cermat.
·      Petani yang baru pertama kali melaksanakan SRI banyak yang mengeluhkan pertumbuhan gulma yang jauh lebih banyak dibanding dengan sistem konvensional. Hal ini dapat dimengerti karena pengeringan akan mendorong benih gulma tumbuh dengan leluasa (pada jenis gulma yang berkembang melalui biji atau umbi). Oleh karena itu pengembangan SRI perlu disertai dengan pembinaan pengendalian gulma yang baik (pada pelaksanaan demplot SRI sangat disarankan utuk menggunakan lalandak dalam mengendalikan gulma).
·      SRI masih menyebakan kebingunan dalam sistem pembagian air karena belum adanya panduan yang pasti mengenai hal ini. Dalam hal perencanaan, operasional irigasi dengan SRI belum mempunyai angka dasar hidrologi yang baku, sehingga para ahli hidrologi masih belum dapat merencanakan sistem pembagian air yang ideal. Penelitian akan hal ini sangat diperlukan guna mendapatkan angka koefisien yang baku. Pembagian air irigasi dalam SRI juga sangat menuntut sistem pertanaman serempak, terutama pada satu petak tersier yang sama. Dilain pihak, sistem pertanaman serempak ini sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal sekalipun pada sistem konvensional.
·      Selain SRI, sistem Jajar Legowo yang dikombinasikan dengan pupuk organik dan juga padi Hibrida yang menggunakan sistem pengairan konvensional yang juga memberikan hasil produksi yang relatif sama, menjadi pesaing utama bagi pengembangan SRI.
Pada akhirnya, betatapapun banyaknya kelebihan yang dimiliki SRI, beberapa penyesuaian budaya, kebijakan pembangunan, maupun teknis, sangat diperlukan. Yang jelas, dengan kondisi lahan irigasi yang ada di Indonesia, SRI masih sangat diharapkan dapat dikembangkan secara luas terutama pada daerah irigasi yang pemenuhan airnya terbatas seperti di wilayah-wilayah Timur Indonesia.
b.      Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi
Sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, pengelolaan sistem irigasi diselenggarakan melalui azas partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. kaidah pengelolaan yang diharapkan dari peraturan tersebut:
·      Partisipatif ; sudah saatnya semua pihak, baik unsur pemerintah maupun pemanfaat jaringan irigasi (petani / P3A) memiliki dan mewujudkan azas inisiatif guna mengelola dan memelihara jaringan irigasi demi kemanfaatan yang sebesar-besarnya. Disini, pola desentralisasi sangat diharapkan terutama pada areal-areal yang merupakan kewenangan daerah (Baca Pasal 16, 17, dan 18 PP 20/2006). Petani melalui P3A dan GP3A, diharapkan memiliki inisisatif swadaya ataupun swakelola dalam melestarikan kedayagunaan jaringan irigasi, sementara pemerintah sesuai daerah kewenangannya bertanggungjawab untuk mendukung inisiatif yang muncul dari petani.
·      Terpadu ; keterpaduan yang dimaksud bukan hanya pada proses pemeliharaan pelestarian jaringan, akan tetapi lebih diutamakan pada pemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada akhirnya mewujudkan ketahanan pangan yang solid. Disini, dituntut koordinasi dan konsolidasi program antara 4 pemangku kepentingan pembangunan lahan beririgasi, yaitu Petani (P3A), PU Pengairan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan Bappeda sebagai motor pembangunan daerah. Keterpaduan bukan hanya dari segi pemanfaatan, akan tetapi juga dari segi pembiayaan operasional dan pemeliharaan.
·      Berwawasan lingkungan ; dimaksudkan sebagai pemenuhan azas kelestarian pemanfaatan dan kegunaan. Oleh karenanya, disini dituntut pelaksanaan program pemeliharaan yang baik dan terstruktur serta dukungan program pelestarian sumber daya air itu sendiri yang merupakan wewenang dan tanggung jawab Ditjen SDA dan Kehutanan. Dari segi teknis pemanfaatan, Dinas Pertanian dituntut pula melaksanakan sistem pertanian yang mendukung azas pelestarian lingkungan hidup seperti menerapkan sistem pertanian terpadu, integrasi tanaman dan ternak, metode budidaya padi organik (melalui metode SRI atau Jajar Legowo), PHT, dan lain-lain.
·      Transparansi, akuntabel, dan berkeadilan ; poin ini merupakan hal yang gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Tidak ada kriteria yang jelas untuk memonitor realisasinya. Paling tidak kita dapat mengharapkan partisipasi masyarakat petani untuk dapat mengontrol ketiga poin tersebut. Dengan adanya peraturan ini, petani melalui organisasi P3A / GP3A dapat melakukan aksi pengawasan langsung atas proses dan pembiayaan operasi dan pemeliharaan di wilayah kewenangannya. Azas ini mensyiratkan bahwa proses pembangunan adalah milik masyarakat petani dan petani mempunyai hak untuk menentukan arah pembangunan daerahnya dan menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang dilaksanakan.

B.    Dampak positif dan negatif dari kebijakan bagi pertanian Indonesia
1.      Dampak positif
a.       Orde Baru
·         Terciptanya kestabilan ekonomi Indonesia dengan adanya REPELITA
·         Berkembangnya kemampuan petani dalam hal pengolahan lahan maupun produksi bahan pangan menjadi lebih modern
·         Terjadinya peningkatan produksi hasil pertanian yang menjadikan Indonesia berhasil bangkit dari masalah kebutuhan pangan dengan menciptakan swasembada pangan
·         Terciptanya kualitas sumber daya manusia yang lebih kompeten dan menghasilkan
b.      Reformasi
Pada program yang dijalankan pemerintah tentng program SRI dapat dilihat beberapa kelebihan di antaranya:
·           SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit
·           Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat
·           Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering meretak akan memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti akan memperbaiki kondisi tanah
·           Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional akan memperbaiki efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi bagi perluasan areal irigasi
Pada kebijakan tentang Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi dapat dilihat beberapa kelebihan di antaranya:
ü  Meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada akhirnya mewujudkan ketahanan pangan yang solid
ü  Semua pihak memiliki dan berkewajiban mengelola dan memelihara jaringan irigasi demi kemanfaatan yang sebesar-besarnya
ü  Proses pembangunan adalah milik masyarakat petani dan petani mempunyai hak untuk menentukan arah pembangunan daerahnya dan menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang dilaksanakan
2.      Dampak negatif
a.       Orde Baru
ü Timbulnya kesulitan untuk mengatasi dampak dari kemajuan pengolahan tanaman yang lebih modern
ü Petani menjadi tertinggal kerena kurangnya penyuluhan pertaniankepada para petani
ü Terjadi keterbelakangan subsektor selain pangan dikarenakan pemerintah lebih mengutamakan kemajuan dalam produksi tanaman pangan
b.      Reformasi
o   Petani belum siap dengan beberapa kebijkan dari pemerintah yang dianggap terlalu sulit dan merepotkan
o   Dalam permasalahan irigai petani menjadi kebingungan akibat tidak memahami penduan yang tidak pasti dalam sistem pembagian air.

C.    Koreksi kebijakan untuk masa yang akan datang
Permasalahan yang timbul pada sistem pembangunan pertanian tersebut sebenarnya menjadi pemicu bagi para ahli di bidang pertanian untuk memecahkan bagaimana mencari solusi dari masalah tersebut. Beberapa masalah yang tecipta dari masa Orde Baru maupun Reformasi sebenarnya memerlukan pemecahan yang cukup sederhana dan dapat dipahami dengan mudah oleh para petani agar dapat melakukan proses produksi bahan pangan maupun hasi hortikultura yang dapat meningkatkan kemajun pertanian Indonesia.
Permasalahan tentang lahan irigasi yang ingin memperluas areal untuk meningkatkan produksi padi sawah sebenarnya telah terjawab dengan hadirnya padi SRI yang mampu menghasilkan padi lebih banyak namun dengan konsumsi air yang sedikit. Hanya saja dalam penanaman padi SRI ini juga mengalami hambatan dengan kurangnya buruh tani yang bekerja untuk mengembangkan sistem padi ini diakibatkan para petani yang sebagian besar memiliki pekerjaan lain dan menjadikan kegiatan pertanian menjadi pekerjaan sampingan. Seharusnya pengembangan padi SRI menjadi solusi tepat bagi sulitnya membuka areal irigasi bagi petani, hanya saja hal itu harus sejalan dengan kegiatan petani yang lebih fokus pada produktifitas tanaman-tanaman pangan.
Sedangkan permasalahan penggunaan air lahan irigasi yang membingungkan petani akibat ketidakjelasan panduan penggunaan dan pembagian air seharusnya menjadi perhatian yang lebih bagi penyuluh pertanian sehingga lebih meningkatkan penyuluhan untuk menambah pengetahuan para petani yang tidak hanya terfokus tentang penggunaan air lahan irigasi, tetapi juga pada masalah pembibitan, pembasmian hama, maupun pada pemberian pupuk dengan dosis yang tepat bagi tanaman.
Pada kebijakan pemerintah tentang REPELITA dan Revolusi Hijau yang bertujuan meningkatkan ketahanan pangan dengan meningkatkan produktifitas tanaman pangan menuju swasembda pangan mengakibatkan permasalahan pada keterbelakangan produktifitas subsektor tanaman selain tanaman pangan seperti hortikultura. Seharusnya peningkatan produktifitas dari tanman pangan juga diimbangi dengan peningkatan produktifitas tanaman lainnya seperti tanaman hortikultura.
( Untuk jawaban saya no 3 bagian A, B, C saya gabungkan jadi satu bagian )




Read More....

GENDER

Posted by : aah j-frog :D
0 komentar
Kamis, 24 Oktober 2013

GENDER

1. SEKS DAN GENDER
Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus tentang gender sudah mulai ramai dibicarakan orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis “hubungan gender”.
Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa, diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang kesemuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.
Dimasukkannya konsep gender ke dalam studi wanita tersebut, menurut Sita van Bemmelen paling tidak memiliki dua alasan. Pertama, ketidakpuasan dengan gagasan statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita hanya menunjuk pada sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman arti pria dan wanita dalam pelabagi kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan bahwa kategori pria dan wanita merupakan konstruksi sosial yang membentuk pria dan wanita. (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998: xxvi)
Namun ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki dan perempuan akan istilah gender itu sendiri dan apa hakekat dari perjuangan gender tersebut.
 Bertolak dari fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender.  Pemahaman yang mendalam atas kedua konsep tersebut sangatlah penting karena kesamaan pengertian (mutual understanding) atas kedua kata kunci dalam pembahasan bab ini akan menghindarkan kita dari kemungkinan pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang tindih antara masalah-masalah perempuan  yang muncul karena perbedaan akibat seks dan masalah-masalah perempuan yang muncul akibat hubungan gender, disamping itu juga untuk memudahkan pemahaman atas konsep gender yang merupakan kata dan konsep asing ke dalam konteks Indonesia.

A.    Pengertian

Selama lebih dari sepuluh tahun istilah gender meramaikan berbagai diskusi tentang masalah-masalah perempuan, selama itu pulalah istilah tersebut telah mendatangkan ketidakjelasan-ketidakjelasan dan kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan apa kaitan konsep tersebut dengan usaha emansipasi wanita yang diperjuangkan kaum perempuan tidak hanya di Indonesia yang dipelopori ibu Kartini tetapi juga di pelbagai penjuru dunia lainnya.
Kekaburan makna  atas istilah gender ini telah mengakibatkan perjuangan gender menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari kaum laki-laki yang merasa terancam “hegemoni kekuasaannya” tapi juga datang dari kaum perempuan sendiri yang tidak paham akan apa yang sesungguhnya dipermasalahkan oleh perjuangan gender itu.
Konsep gender pertama kali harus dibedakan dari konsep seks atau jenis kelamin secara biologis. Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan.
Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan memproduksi sperma . Sementara seseorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua tempat, di semua budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain.
Berbeda dengan seks atau jenis kelamin yang diberikan oleh Tuhan dan sudah dimiliki seseorang ketika ia dilahirkan sehingga menjadi kodrat manusia, istilah gender yang diserap dari bahasa Inggris dan sampai saat ini belum ditemukan padanan katanya dalam Bahasa Indonesia, ---kecuali oleh sebagian orang yang untuk mudahnya telah mengubah gender menjadi jender--- merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Kompas, 3 September 1995) 
Oleh karena gender merupakan suatu istilah yang dikonstruksi secara sosial dan kultural untuk jangka waktu yang lama, yang disosialisasikan secara turun temurun  maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat ini, sebab pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan hubungan gender dimaknai secara berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu. Meskipun demikian upaya untuk mendefinisikan konsep gender tetap dilakukan dan salah satu definisi gender telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang sejarahwan, sebagai  “a constitutive element of social relationships based on perceived differences between the sexes, and…a primary way of signifying relationships of power.” (1986:1067)
 Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di luar rumah dan  bahwa seorang perempuan itu lemah lembut, keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus anak, memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah kodrat karena itu dibentuk oleh manusia.
Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari waktu ke waktu, di suatu daerah dan  daerah yang lainnya. Oleh karena itulah, identifikasi seseorang dengan menggunakan perspektif gender tidaklah bersifat universal. Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat keibuan dan lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis kelamin perempuan bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan perkerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan kaum laki-laki.
Disinilah kesalahan pemahaman akan konsep gender seringkali muncul, dimana orang sering memahami konsep gender yang merupakan rekayasa sosial budaya sebagai “kodrat”, sebagai sesuatu hal yang sudah melekat pada diri seseorang, tidak bisa diubah dan ditawar lagi. Padahal kodrat itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara lain berarti “sifat asli; sifat bawaan”. Dengan demikian gender yang dibentuk dan terbentuk sepanjang hidup seseorang oleh pranata-pranata sosial budaya yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi bukanlah bukanlah kodrat.

2. GENDER DAN SOSIALISASI

A.    Pengertian Sosialisasi

     Kuatnya citra gender sebagai kodrat, yang melekat pada benak masyarakat, bukanlah merupakan akibat dari suatu proses sesaat melainkan telah melalui suatu proses dialektika, konstruksi sosial, yang dibentuk, diperkuat, disosialisasikan secara evolusional dalam jangka waktu yang lama, baik melalui ajaran-ajaran agama, negara, keluarga maupun budaya masyarakat, sehingga perlahan-lahan citra tersebut mempengaruhi masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan secara biologis dan psikologis.
Melalui proses sosialisasi, seseorang akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi, seseorang “diharapkan” menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya, sehingga bisa menjadi manusia masyarakat dan “beradab”.
Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan dari anggota masyarakat dan hubungannya dengan sistem sosial. Sosialisasi menitikberatkan pada masalah individu dalam kelompok. Oleh karena itu proses sosialisasi melahirkan kedirian dan kepribadian seseorang. (Soelaeman, 1998:109)
Kedirian sebagai suatu produk sosialisasi, merupakan kesadarn terhadap diri sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain di luar dirinya. Adapun asal mula timbulnya kedirian antara lain karena:
a)   Dalam proses sosialisasi seseorang mendapat bayangan dirinya, yaitu setelah memperhatikan cara orang lain memandang dan memperlakukan dirinya. Misalnya, apakah dirinya dianggap baik, buruk, pintar, cantik dan sebagainya.
b)   Dalam proses sosialisasi juga membentuk kedirian yang ideal. Orang yang bersangkutan mengetahui dengan pasti apa-apa yang harus dia lakukan agar memperoleh penghargaan dari orang lain.

      Proses sosisalisasi sebenarnya berawal dari dalam keluarga. Gambaran diri seseorang merupakan pantulan perhatian yang diberikan keluarga kepada dirinya. Persepsinya tentang diri, tentang dunia dan masyarakat sekelilingnya secara langsung dipengaruhi oleh tindakan dan keyakinan keluarganya. Sehingga nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang individu dan berbagai peran yang diharapkan dilakukan olehnya, smeua berawal dari dalam lingkungan sendiri.
Proses sosialisasi ini tidak berhenti sampai pada keluarga saja, tapi masih ada lembaga lain. Cohan (1983) mengatakan bahwa lembaga-lembaga sosialisasi yang terpenting ialah keluarga, sekolah, kelompok sebaya dan media massa.
Sosialisasi pada dasarnya menunjuk pada semua faktor dan proses yang membuat setiap manusia menjadi selaras dalam hidupnya di tengah-tengah orang lain. Sehingga meskipun proses sosialisasi yang dijalani setiap orang tidak selalu sama, namun secara umum sasaran sosialisasi itu sendiri hampir sama di berbagai tempat dan budaya, yaitu antara lain:
a)   Individu harus diberi ilmu pengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkan bagi kehidupan kelak di masyarakat.
b)   Individu harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mengembangkan kemampuannya.
c)   Pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat.
d)  Bertingkah laku selaras dengan norma atau tata nilai dan kepercayaan pokok yang ada pada lembaga atau kelompok khususnya dan masyarakat umumnya.

B.     Sosialisasi  Peran Gender

Pranata sosial yang kita masuki segabai individu, sejak kita memasuki keluarga pada saat lahir, melalui pendidikan, kultur pemuda, dan ke dalam dunia kerja dan kesenangan, perkawinan dan kita mulai membentuk keluarga sendiri, memberi pesan yang jelas kepada kita bagaimana orang “normal” berperilaku sesuai dengan gendernya.(Mosse, 1996:63)  
Karena konstruksi sosial budaya gender, seorang laki-laki misalnya haruslah bersifat kuat, agresif, rasional, pintar, berani dan segala macam atribut kelelakian lain yang ditentukan oleh masyarakat tersebut, maka sejak seorang bayi laki-laki lahir, dia sudah langsung dibentuk untuk “menjadi’ seorang laki-laki, dan disesuaikan dengan atribut-atribut yang melekat pada dirinya itu. Demikian pula halnya dengan seorang perempuan yang karena dia lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun kemudian dibentuk untuk “menjadi” seorang perempuan sesuai dengan kriteria yang berlaku dalam suatu masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya bahwa karena dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi “kodrat” pula bagi dia untuk menjadi sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional dan sebagainya.
Proses sosialisasi peran gender tersebut dilaksanakan melalui berbagai cara, dari mulai pembedaan pemilihan warna pakaian, accessories, permainan, perlakuan dan sebagainya yang kesemuanya diarahkan untuk mendukung dan memapankan proses pembentukan seseorang “menjadi” seorang laki-laki atau seorang perempuan sesuai dengan ketentuan sosial budaya setempat.
Pembedaan identitas berdasarkan gender  tersebut telah ada jauh sebelum seseorang itu lahir. Sehingga ketika pada akhirnya dia dilahirkan ke dunia ini, dia sudah langsung masuk ke dalam satu lingkungan yang menyambutnya dengan serangkaian tuntutan peran gender. Sehingga seseorang terpaksa menerima identitas gender yang sudah disiapkan untuknya dan menerimanya sebagai sesuatu hal yang benar, yang alami dan yang baik. Akibatnya jika terjadi penyimpangan terhadap peran gender yang sudah menjadi bagian dari landasan kultural masyarakat dimana dia hidup, maka masyarakat pun lantas menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif bahkan mungkin sebagai penentang terhadap budaya yang selama ini sudah mapan. Dan sampai sejauh ini yang sering menjadi korban adalah kaum perempuan.
Sebagai contoh dalam adat budaya Jawa di Indonesia, seorang budayawan terkemuka, Umar Kayam, mengungkapkan bahwa sebutan wanita sebagai kanca wingking (teman di belakang) merupakan pengembangan dialektika budaya adiluhung. Sosok budaya inilah yang berkembang di bawah ilham “halus – kasar” yang secara tegar menjelajahi semua sistem masyarakat Jawa. Sistem kekuasaan feodal aristokratik, demikian Kayam, telah menetapkan wanita untuk memiliki peran atau role menjadi “penjaga nilai-nilai halus-kasar dan adiluhung” di dalam rumah.(Kompas, 23 Oktober 1995)
Penjajahan kultural yang demikian panjang dan membuat perempuan lebih banyak menjadi korban itu terus dilestarikan. Tidak jarang, alasan-alasan kultural memberikan legitimasi sangat ampuh. Ia dicekokkan melalui pelbagai pranata sosial dan adat istiadat yang mendarahdaging dalam jantung kesadaran anggotanya. Rasionalisasi kultural inilah yang pada gilirannya membuat perempuan secara psikologis mengidap sesuatu yang oleh Collete Dowling disebut Cinderella Complex, suatu jaringan rasa takut yang begitu mencekam, sehingga kaum wanita merasa tidak berani dan tidak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya kreativitasnya secara penuh. (Ibrahim dan Suranto, 1998:xxvi)
Sosialisasi yang jika kita cermati pengertiannya, yaitu merupakan sebuah proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. (Noor, 1997:102) telah juga dilakukan tidak hanya melalui lembaga keluarga dan lembaga adat, melainkan juga oleh lembaga negara dan lembaga pendidikan.
 Pemapanan citra bahwa seorang perempuan itu lebih cocok berperan sebagai seorang ibu dengan segala macam tugas domestiknya yang selalu dikatakan sebagai “urusan perempuan”, seperti membersihkan rumah, mengurus suami dan anak, memasak, berdandan dan sebagainya. Sementara citra laki-laki, disosialisasikan secara lebih positif, dimana dikatakan bahwa laki-laki karena kelebihan yang dimilikinya maka lebih sesuai jika dibebani dengan “urusan-urusan laki-laki” pula dan lebih sering berhubungan dengan sektor publik, seperti mencari nafkah, dengan profesi yang lebih bervariasi daripada perempuan. Kesemua itu disosialisasikan sejak dari kelas satu Sekolah Dasar melalui buku-buku pelajaran di sekolah hingga Panca Dharma Wanita, yang menyatakan bahwa tugas utama seoarang perempuan adalah sebagai “pendamping” suami, dan itulah yang diyakini secara salah oleh sebagian orang sebagai “kodrat wanita.”


3. GENDER DAN STRATIFIKASI

       Pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan gender mungkin tidak akan mendatangkan masalah jika  pembedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan. Meski ketidakadilan itu lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan, sehingga bermunculanlah gerakan-gerakan perjuangan gender.
       Ketidakadilan gender tersebut antara lain termanifestasi pada penempatan perempuan dalam stratifikasi sosial masyarakat, yang pada kelanjutannya telah menyebabkan kaum perempuan mengalami apa yang disebut dengan marginalisasi dan subordinasi.

A.    Pengertian Stratifikasi

 Bila ditinjau dari asal katanya, istilah stratifikasi berasal dari kata stratus yang artinya lapisan (berlapis-lapis). Sehingga dengan istilah stratifikasi diperoleh gambaran bahwa dalam tiap kelompok masyarakat selalu terdapat perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai yang berkedudukan rendah, berlapis-lapis dari atas ke bawah.
Pelapisan sosial dalam masyarakat tersebut terjadi karena adanya “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat tersebut. Misalnya, berupa pemilikian uang atau benda-benda ekonomis lainnya seperti mobil, rumah, benda-benda elektronik dan lain sebagainya. Pemilikan kekuasaan, ilmu pengetahuan, agama atau keturunan keluarga. Untuk selanjutnya masyarakat dinilai dan ditempatkan pada lapisan-lapisan tertentu berdasarkan tingkat kemampuannya dalam memiliki “sesuatu” yang dihargai tersebut.
Proses terjadinya pelapisan dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya atau sengaja disusun untuk mencapai satu tujuan bersama, misalnya pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal.
Disamping itu, pelapisan dalam masyarakat juga bisa bersifat tertutup, dimana didalamnya tidak memungkinkan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lain, baik gerak pindahnya ke atas maupun ke bawah. Misalnya, penempatan seseorang dalam lapisan tertentu yang diperoleh berdasarkan kelahiran. Contoh paling banyak terdapat pada masyarakat dengan sistem kasta, masyarakat feodal dan masyarakat rasial. Sementara pada masyarakat dengan sistem pelapisan terbuka, setiap orang mempunyai kesempatan untuk naik ke lapisan yang lebih tinggi tetapi juga  dimungkinkan untuk jatuh ke lapisan yang lebih rendah.

B.     Stratifikasi Perempuan Berlandaskan Perbedaan Gender

Jika kita mengaitkan masalah gender dengan stratifikasi maka mau tidak mau kita harus melihat kembali pada proses sosialisasi  yang telah mengawali pemapanan pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender.
Selama ini telah disosialisasikan, ditanamkan  sedemikian rupa, ke dalam benak, ke dalam pribadi-pribadi seseorang, laki-laki dan perempaun, bahwa karena “kodrat”-nya seorang laki-laki berhak dan sudah seharusnya untuk mendapat kebebasan, mendapat kesempatan yang lebih luas daripada perempuan. Tuntutan nilai-nilai yang ditentukan oleh masyarakat telah mengharuskan seorang laki-laki untuk lebih pintar, lebih kaya, lebih berkuasa daripada seorang perempuan. Akibatnya segala perhatian dan perlakuan yang diberikan kepada masing-masing dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan tersebut pun disesuaikan dan diarahkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Kepada laki-laki diberikan prioritas dan kesempatan lebih luas untuk sekolah dan menuntut ilmu lebih tinggi daripada kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan. Kepada kaum laki-laki pula dibuka pintu selebar-lebarnya untuk bekerja di berbagai sektor publik dalam dunia pekerjaan yang dianggap maskulin, sementara perempuan lebih diarahkan untuk masuk ke sektor domestik dengan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini memang dianggap sebagai “urusan” perempuan.
Bertolak dari kondisi tersebut maka akses perempuan terhadap “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat, yang menjadi sumber kelahiran pelapisan dalam masyarakat pun menjadi sangat rendah. Sehingga kaum perempuan dengan segala keterbatasan yang sudah ditentukan oleh masyarakat untuknya terpaksa menempati lapisan yang lebih rendah di masyarakat daripada kaum laki-laki.
Kondisi yang telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan di atas telah juga melahirkan pelbagai bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi antara lain dalam bentuk:
a)   Marginalisasi
Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dengan anggota keluarga perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum laki-laki.
Demikian juga dengan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan, berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang akibatnya juga melahirkan perbedaan jumlah pendapatan antara laki-laki dan perempuan.
Seorang perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah, tidaklah dianggap “bekerja” karena pekerjaan yang dilakukannya, seberapapun banyaknya, dianggap tidak produktif secara ekonomis. Namun seandainya seorang perempuan “bekerja” pun (dalam arti di sektor publik) maka penghasilannya hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja sebagai penghasilan seorang suami tetap yang utama, sehingga dari segi nominal pun perempuan lebih sering mendapatkan jumlah yang lebih kecil daripada kaum laki-laki.
Mengenai marginalisasi perempuan ini, Ivan Illich mengungkapkan sebuah fakta sebagai berikut:
Selama bertahun-tahun ini, diskriminasi terhadap perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang berupah, yang terkena pajak, dan yang dilaporkan atau dipantau secara resmi, kedalamannya tidak berubah namun volumenya makin bertambah. Kini 51 % perempuan di Amerika Serikat bekerja di luar rumah, sementara tahun 1880 hanya tercatat 5%. Jika pada tahun 1880 dalam keseluruhan tenaga kerja di Amerika hanya 15% yang perempuan sekarang mencapai 42%. Kini separuh dari semua perempuan yang sudah kawin punya penghasilan sendiri dari suatu pekerjaan luar rumah, sementara seabad silam hanya 5% yang memiliki pendapatan sendiri. Sekarang hukum membuka kesempatan pendidikan serta karier bagi perempuan, sedangkan pada tahun 1880 banyak yang tertutup baginya. Sekarang rata-rata perempuan menghabiskan 28 tahun sepanjang hidupnya untuk bekerja sementara tahun 1880 angka rata-rata yang tercatat hanya 5 tahun. Ini semua kelihatan seperti langkah-langkah penting ke arah kesetaraan ekonomis, tapi tunggu sampai Anda terapkan alat ukur yang tepat. Upah rata-rata tahunan perempuan yang bekerja penuh-waktu masih mandek pada rasio magis dibanding pendapatan laki-laki, yakni 3:5 ----59%, dengan kenaikan atau penurunan 3% --- persis persentase seratus tahun silam. Kesempatan pendidikan, ketersediaan perlindungan hukum, retorika revolusioner --- politis, teknologis, atau seksual ---tak mengubah apa-apa sehubungan dengan rendahnya pendapatan perempuan dibanding laki-laki. (1998:16)

b.  Subordinasi
     
      Pandangan berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.
Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai daripada seorang perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi yang baru lahir tersebut. Kelahiran seorang bayi laki-laki akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan.
Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Kekerasan yang menimpa kaum perempuan termanifestasi  dalam berbagai wujudnya, seperti perkosaan, pemukulan, pemotongan organ intim perempuan (penyunatan) dan pembuatan pornografi.
Hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya. (Mosse, 1996:76)
Anggapan bahwa perempuan itu lebih lemah atau ada di bawah kaum laki-laki juga sejalan dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak permulaan lahirnya filsafat di dunia Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi “kodrat” (sic!) wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. (Budiman, 1985: 6) Bahkan Aristoteles mengatakan bahwa wanita adalah laki-laki – yang – tidak lengakap. (Ibid.)

Demikianlah pendikotomian laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender  nyata sekali telah mendatangkan ketidakadilan gender bagi perempuan yang termanifestasi dalam berbagai  wujud dan bentuknya. Karena diskriminasi gender perempuan diharuskan untuk patuh pada “kodrat” –nya yang telah ditentukan oleh masyarakat untuknya. Karena diskriminasi pula perempuan harus menerima stereotype yang dilekatkan pada dirinya yaitu bahwa perempuan itu irrasional, lemah, emosional dan sebagainya sehingga kedudukannya pun selalu subordinat terhadap laki-laki, tidak dianggap penting bahkan tidak dianggap sejajar dengan laki-laki, sehingga perempuan diasumsikan harus selalu menggantungkan diri dan hidupnya kepada laki-laki.
Bertolak dari kondisi demikianlah maka jika dulu Karl Marx memperjuangkan kesamaan kelas, kini  kaum feminis menggemakan perjuangannya, untuk memperoleh kesetaraan gender. Untuk memperoleh kedudukan dan hak yang sama dengan laki-laki.  


DAFTAR   PUSTAKA
Budiman, Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta, Gramedia,1985
Fakih, Mansour, DR. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto, (ed). Wanita dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998
Illich, Ivan. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Mosse, Julia Cleves. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center dan Pustaka Pelajar, 1996
Munir, Lily Zakiyah, (ed). Memposisikan Kodrat. Bandung: Mizan, 1999
Noor, H. M. Arifin, Drs. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Pustaka Setia, 1997
Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997
Soelaeman, M. Munandar. Ir. MS. Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Refika Aditama, 1998


Read More....

Copyright © 2012 aah iwooo ( j-frog ) | Another Theme | Designed by Johanes DJ